SENJAKALA HUMANIOR
K
|
abar tak
sedap datang dari Jepang. Sebagaimana dilansir
www.timeshighereducation.com bahwa pada September 2015 Pemerintah Jepang
memerintahkan universitas-universitas di sana menutup fakultas-fakultas ilmu
sosial dan humaniora. Dari 60 universitas nasional, 26 di antaranya telah
mengonfirmasi akan menutup atau menimbang kembali perintah pemerintah itu.
Perintah yang merupakan bagian dari upaya Perdana Menteri Shinzo Abe itu
dimaksudkan untuk mempromosikan lebih banyak pendidikan kejuruan “yang lebih
baik” dalam mengantisipasi “kebutuhan-kebutuhan masyarakat”.
Patut disayangkan, kemajuan Jepang
yang sejak akhir abad ke-19 dipupuk dengan nilai-nilai luhur filosofi, sejarah,
dan budayanya perlahan-lahan kini terkikis ketika-khususnya-humaniora sebagai
pengontrol laju modernitas telah dianggap malafungsi. Tampaknya di tengah arus
kecanggihan, kecepatan, dan keinstanan teknologi, posisi humaniora
perlahan-lahan terpinggirkan oleh kebutuhan ekonomi dan industri pasar yang
mengatasnamakan “kebutuhan masyarakat”. Lalu, apakah kini humaniora benar-benar
tengah menjelang senjakalanya?
Ø Humaniora,
humanisme
Gejala senjakala humaniora
sebenarnya sudah digelisahkan sejak beberapa tahun lalu. Bukan hanya di Jepang,
gejala itu bersifat global sebagaimana diramalkan Terry Eagleton dalam
tulisannya, The Death of Universities (2010). Menurut Eagleton, jika
disiplin humaniora tersingkir dari universitas, maka tidak mungkin universitas
bisa berdiri tanpanya. Dan, ketika ilmu sejarah, arkeologi, antropologi, filsafat,
linguistik, sastra, dan seni menjadi tak lebih dari sekadar “artefak
pengetahuan” belaka, maka jelas ini telah mengingkari landasan historis dan
filosofis universitas itu sendiri yang sejak abad ke-18 tak bisa dipisahkan
dari peran penting disiplin ilmu-ilmu kemanusiaan, humane disciplines.
Ketika Revolusi Industri bergeliat
pada abad ke-18, saat itu lembaga-lembaga universitas di Eropa mengembangkan
humaniora modern sebagai disiplin untuk mengimbangi laju kapitalisme dan
modernisme. Posisi dan fungsinya tidak lain untuk menjaga nilai-nilai dan
ide-ide kemanusiaan demi mewujudkan harmonisasi kehidupan.
Meski merupakan disiplin ilmu
tersendiri, baik secara eksplisit maupun implisit, humaniora memiliki relasi
sinergis dengan disiplin ilmu lainnya. Relasi itu menciptakan gagasan-gagasan
humanistis semisal ekonomi kerakyatan, penegakan hukum yang berkeadilan,
pelayanan kesehatan yang manusiawi, dan kewajiban memberikan pendidikan bagi
seluruh lapisan masyarakat.
Bahkan, sinergi itu tak berarti
harus dimulai di bangku universitas, melainkan sudah dirintis sejak di bangku
sekolah. Misalnya, di beberapa negara Eropa (Jerman, Perancis, Belanda, dan
Rusia), Amerika Serikat, dan Asia (Jepang, Tiongkok, Malaysia, dan Thailand),
siswa-siswa diwajibkan membaca buku-buku sastra. Membaca sastra artinya
menangkap pesan-pesan kemanusiaan yang dapat membentuk karakter moral para
siswa. Dengan begitu, sikap jujur, adil, rasa welas asih, empati, toleran,
serta berkesadaran dalam menjaga keharmonisan hidup manusia dengan alam bakal
terus terpatri dalam jiwanya.
Maka, sinergi antara humaniora
dengan disiplin ilmu lainnya diharapkan dapat menjadi kontrol untuk mengarahkan
berbagai aspek kehidupan menjadi lebih manusiawi. Perjalanan humaniora sendiri
seiring sejalan dengan kehadiran sosok-sosok humanis dalam sejarah peradaban
yang menghendaki kebaikan hidup bagi umat manusia.
Tengok saja beberapa contoh sosok,
seperti Gandhi (India), sarjana hukum yang terpanggil jiwanya untuk membela dan
membebaskan rakyat India dari penindasan kolonialisme Inggris. Dalam bidang
kedokteran, nama seperti Jose Rizal (Filipina), Sun Yat-sen (Tiongkok), dan Che
Guevara (Kuba) mendedikasikan tanpa pamrih ilmu medisnya untuk menyembuhkan
jiwa raga saudara-saudara sebangsanya yang tertindas.
Dalam bidang sosial keagamaan, ada
Bunda Theresa yang menjadi sosok penerang hidup bagi kaum papa di Calcutta,
India. Dalam bidang ekonomi, ada Muhammad Yunus yang berupaya mengembangkan
ekonomi mikro dengan mendirikan Bank Grameen untuk memajukan para usahawan miskin
di Banglades.
Terlepas apakah posisi humaniora
memberi pengaruh secara langsung atau tidak langsung, kiprah hidup sosok-sosok
di atas tidak bisa dilepaskan dari pengalaman pendidikan atau bacaan
pengetahuannya terhadap sejarah, filsafat, sastra, budaya, dan teologi yang
menempa jiwa dan pikiran mereka memahami hakikat manusia hidup di dunia.
Humaniora sejatinya membimbing manusia menjadi reflektif dalam menyelami
nilai-nilai kemanusiaannya.
Ø Realitas
di Indonesia
Di Indonesia model “pendidikan yang
memanusiakan manusia” pernah ada pada masa Hindia Belanda. Siswa-siswa AMS (Algemene
Middelbare School, setingkat SMU) Hindia Belanda diwajibkan membaca
karya-karya sastra sebanyak belasan hingga 20-an judul selama masa studinya.
Tidak heran jika generasi saat itu dengan segala profesinya begitu teguh dalam
mengemban nilai-nilai kemanusiaan.
Para dokter, seperti Wahidin
Sudirohusodo, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Soetomo menjadi tabib bagi
saudara-saudara sebangsanya yang ditindas oleh rezim kolonial. Ada pula Hatta,
ekonom yang rakus membaca buku itu, yang merumuskan pembentukan koperasi
sebagai sokoguru ekonomi bangsa.
Generasi selepas mereka tak kalah
hebatnya. Taruh saja Yap Thiam Hien “sang pendekar keadilan” dari bidang hukum
yang memilih berjuang membela kaum tertindas dan minoritas. Atau YB
Mangunwijaya, arsitek cum sastrawan yang mendedikasikan hidupnya
mendidik anak-anak melalui metode “pendidikan yang memanusiakan manusia” itu.
Dari mereka kita bisa menangkap
makna penting nilai-nilai kemanusiaan yang perlu dirawat untuk Indonesia masa
sekarang. Maka, posisi humaniora perlu benar-benar diperhatikan urgensinya
dengan mengembangkan orientasi keilmuan di universitas secara lintas disiplin.
Bayangkan, betapa bahagia jika kita
punya dokter-dokter yang meresapi secara tulus filosofi sumpah Hipokrates yang
pernah diucapnya. Pun para ahli hukum belajar meneladani kisah-kisah para
penegak keadilan dalam memihak kaum tertindas. Andai para dokter dan aparat
hukum membaca tetralogi Pramoedya Ananta Toer, lalu meresapinya, barangkali
masyarakat bakal menyanjung mereka sebagai “pahlawan kehidupan”.
Indonesia dan juga dunia sekarang
ini memerlukan generasi yang punya sense of humanities. Generasi inilah
yang diharapkan dapat memutus generasi yang krisis rasa kemanusiaannya seperti:
tenaga medis yang hanya pamrih menyembuhkan orang-orang berduit; hakim yang
memenangkan para pengusaha perusak lingkungan; politisi dan anggota dewan yang
korup; serta pejabat negara yang tidak melindungi hak-hak kaum minoritas dan
tertindas.
Itulah sebabnya spirit humaniora harus terus bernyala,
jangan dibiarkan menuju senjakala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar